Asuhan Keperawatan Syndrome Dyspepsia (ASKEP)
Ingat, Makalah yang kami share hanya sebagai bentuk referensi saja. Silahkan cari referensi dari sumber lainnya.
Silahkan Download Disini
BAB II
-
Leptospirosis
adalah suatu penyakit zoonosis yang di sebabkan oleh mikroorganisme, yaitu
lestospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya, penyakit ini dapat
terjangkit pada laki-laki atau perempuan semua umur. Banyak ditemukan didaerah tropis, dan biasanya
penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama seperti mudfever, slimefever,
Swampfever, autumnal fever, filedfever, Infectiousjaundle, cane cutre fever dan
lain-lain (Mansjoer dkk,2007).
-
Leptospirosis
adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit
zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan
nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul karena
banjir. Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic,
demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, penyakit
swineherd, demam rawa atau demam lumpur (Judarwanto, 2009)
-
Menurut
NSW Multicultural Health Communication Service (2003), Leptospirosis adalah
penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang
ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.
Leptospirosis disebabkan
bakteri pathogen berbentuk spiral genus Leptospira family leptospiraceae dan
ordo spirochaetales. Spiroseta
berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan anaerob.
Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang
pathogen dan L biflexa bersifat saprofitik (Judarwanto, 2009).
1. Patogen L Interrogans
Terdapat
pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang masing-masing terbagi
lagi atas berbagai serotip yang banyak, diantaranya; L. javanica, L.
cellodonie, L. australlis, L. Panama dan lain-lain.
2. Non Patogen L. Biflexa
Menurut
beberapa penelitian, yang paling tersering menginfeksi manusia adalah: L.
icterohaemorrhagiae dengan resorvoir tikus, L. canicola dengan
resorvoir anjing, L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.
Leptospira
dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya tikus, babi,
anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling
berisiko adalah kambing dan sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia adalah
binatang pengerat dan tikus.
C. Distribusi
Penyakit
Leptospirosis
terjadi di seluruh dunia, baik
didaerah maupun perkotaan,
didaerah tropis maupun subtropis.
Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan
bersama hewan, misalnya peternak, petani,
penjahit,
dokter hewan, dan personel militer.
Selainitu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air
yang terkontaminasi .Di daerah
endemis,puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan
banjir.
Iklim yang
sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang
hangat, tanah yang
basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak
ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh
sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara
beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit
yang lebih berat. Angka kejadian
Leptospirosis di negara tropis basah
5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim
subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun,
sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10
per 100.000 orang setiap tahun. Pada
saat wabah,
sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompokberisikotinggi di antara 100.000
orang dapat terinfeksi.
Di Indonesia,
Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk
tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen .
Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa
publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung
sistem organ yang
terinfeksi.
D. Cara
Penularan
Leptospirosis
merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baikpada manusia maupun pada hewan . Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang
(host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di
daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran
di dalam aliran darah induk semang.
Di Indonesia,
penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir dapat menyebabkan adanya perubahan
lingkungan seperti banyaknya genengan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur
serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira
berkembangbiak.
Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ketubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan
memiliki daya reproduksi tinggi.
Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan kemanusia tidak sebesar tikus .
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita kependerita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lender (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka
di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairana bortus( gugur kandungan)
Penularan dari manusia kemanusia jarang terjadi.
Pada Manusia
kulit dan mukosa
menjadi kuning
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari .Infeksi
Leptospirosis mempunyai manifestasi
yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala,
sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa .Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat.
penyakit
leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan fase imun. Pada
periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik (Judarwanto,
2009).
1. Fase
awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena
bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar
jaringan tubuh. Fase awal sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti
flu dengan beberapa variasinya. Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah
dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit
tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, nyeri kepala frontal,
fotofobia, gangguan mental, dan meningitis. Pemeriksaan fisik sering
mendapatkan demam sekitar 400C disertai takikardi. Subconjunctival suffusion,
injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan,mild
jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk
makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau rash juga
didapatkan pada fase awal penyakit.
2. Fase
kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi
antibody dapat dideteksi dengan isolasi
kuman dari urine, mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan
serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput
otak, hati, mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot
mungkin lebih ringan dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa
minggu. Sekitar 77% penderita mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak
responsif dengan analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal
meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan
mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan demensia.
Kuman
leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum
air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah
dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam
air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena
ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak
virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran
darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.
Kuman
leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman
leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan
aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan
trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman
leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya
eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Beberapa
strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo,
toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan
sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah
ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium,
tubulus ginjal, dan lumen tubulus.
Pada
leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan,
pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.
Conjungtival
suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah,
kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi
lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan
vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang
menimbulkan uveitis kronik berulang.
Kuman
leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan
tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi
spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ
kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman
leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.
Pathways
Pada
leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal,
miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui
dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.
Pemeriksaan
laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui gangguan organ
tubuh dan komplikasi yang terjadi.
-
Urine
yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak
awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang
peluang untuk isolasi kuman sangat pendek Isolasi kuman leptospira dari
jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku.
Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi kuman tetapi
isolasi leptospira lebih sulit dan membutuhkan beberapa bulan.
-
Spesimen
serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tetapi
lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala awal dan
serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira
diperiksa menggunakan microscopic agglutination test (MAT).
-
Titer
MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang
gelap dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
-
Pemeriksaan complete
blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin dapat terjadi
pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui
komponen DIC. Blood urea nitrogen dan kreatinin serum dapat
meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis pada penyakit
Weil.
-
Peningkatan
bilirubin serum dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan transaminase
jarang dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan
meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum creatine kinase (MM fraction)
sering meningkat pada gangguan muskular.
-
Analisis
CSF bermanfaat hanya untuk eksklusi meningitis bakteri. Leptospires dapat
diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak mengubah tatalaksana
penyakit.
-
Pemeriksaan
pencitraan foto polos paru dapat menunjukkan air space bilateral.
Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru pada miokarditis. Perdarahan
alveolar dan patchy multiple infiltrate dapat ditemukan.
Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus.
-
Perwarnaan silver
staining dan immuno fluorescene dapat mengidentifikasi leptospira di hati,
limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histology menunjukkan
organisma tanpa banyak infiltrate inflamasi.
Asuhan Keperawatan Syndrome Dyspepsia (ASKEP)
Asuhan Keperawatan Syndrome Dyspepsia (ASKEP)
1. Dengue Fever
2. Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
3. Hepatitis
4. Malaria
5. Meningitis
6. Mononucleosis, influenza
7. Enteric fever
8. Rickettsial disease
9. Encephalitis
10. Primary HIV infection
Obat
antibiotika yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah
penicillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah
pemeberian penicilin G terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer yang menunjukkan
adanya aktivitas antileptospira> obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari
namun kurang bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika
terdapat ikterus, gagal ginjal dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan
sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
Tergantung
keadaan umum klien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang
didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat
seperti gagal ginjal atau perdarahan dan terlambatnya
klien mendapat pengobatan.
BAB III
1. Identitas
Keadaan
umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat kejadiannya
sama.
2. Keluhan utama
Demam
yang mendadak
Timbul
gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal) mata
merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah, diare,
batuk, sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva.
Demam ini berlangsung 1-3 hari.
3. Riwayat keperawatan
a.
Imunisasi,
riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
b.
Riwayat
penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
c.
Riwayat
pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti bepergian
di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
d.
Pemeriksaan
dan observasi
·
Pemeriksaan
fisik
Keadaan umum, penurunan kesadaran,
lemah, aktvivitas menurun
Review
of sistem :
1) Sistem
pernafasan
Epitaksis,
penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada
2) Sistem
cardiovaskuler
Perdarahan,
anemia, demam, bradikardia.
3) Sistem
persyrafan
Penuruanan
kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata merah. fotofobia,
injeksi konjunctiva, iridosiklitis
4) Sistem
perkemihan
Oligoria,
azometmia,perdarahan adernal
5) Sistem
pencernaan
Hepatomegali,
splenomegali, hemoptosis, melenana
6) Sistem
muskoloskletal
Kulit
dengan ruam berbentuk makular/ makulopapular/ urtikaria yang teresebar pada
badan. Pretibial.
·
Laboratorium
1)
Leukositosis
normal, sedikit menurun,
2)
Neurtrofilia
dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
3)
Proteinuria,
leukositoria
4)
Sedimen
sel torak
5)
BUN,
ureum dan kreatinin meningkat
6)
SGOT
meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
7)
Bilirubin
meninggi samapai 40 %
8)
Trombositopenia
9)
Hiporptrombinemia
10) Leukosit dalam cairan serebrospinal
10-100/mm3
11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun
1.
Hipertermia berhubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit
2.
Nyeri
akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit)
3.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk mengabsorbsi
zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan dan Criteria Hasil (NOC)
|
Intervensi (NIC)
|
1
|
Hipertermia berhubungan denganpeningkatan
metabolisme tubuh, proses penyakit
|
NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
v Suhu tubuh dalam rentang
normal
v Nadi dan RR dalam rentang normal
v Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
|
NIC :
Fever treatment
§ Monitor suhu sesering
mungkin
§ Monitor IWL
§ Monitor warna dan suhu
kulit
§ Monitor
tekanan darah, nadi dan RR
§ Monitor penurunan tingkat
kesadaran
§ Monitor WBC, Hb, dan Hct
§ Monitor intake dan output
§ Berikan anti piretik
§ Berikan pengobatan untuk
mengatasi penyebab demam
§ Selimuti pasien
§ Lakukan tapid sponge
§ Berikan cairan intravena
§ Kompres
pasien pada lipat paha dan aksila
§ Tingkatkan sirkulasi udara
§ Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
§ Monitor suhu minimal tiap 2
jam
§ Rencanakan monitoring suhu
secara kontinyu
§ Monitor TD, nadi, dan RR
§ Monitor warna dan suhu
kulit
§ Monitor
tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§ Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
§ Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya kehangatan tubuh
§ Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat panas
§ Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan
§ Beritahukan tentang
indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
§ Ajarkan
indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
§ Berikan anti piretik jika
perlu
|
2
|
Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit)
|
NOC :
v Pain Level,
v Pain control,
v Comfort level
Kriteria Hasil :
v Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari bantuan)
v Melaporkan
bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
v Mampu
mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
v Menyatakan
rasa nyaman setelah nyeri berkurang
v Tanda vital dalam rentang
normal
|
NIC :
§ Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
§ Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan
§ Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
§ Kaji kultur yang
mempengaruhi respon nyeri
§ Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
§ Evaluasi bersama pasien dan
tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
§ Bantu
pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
§ Kontrol
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
§ Kurangi faktor presipitasi
nyeri
§ Pilih
dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
§ Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
§ Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
§ Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
§ Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan
dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
§ Monitor
penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
§ Tentukan
lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
§ Cek
instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
§ Cek riwayat alergi
§ Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
§ Tentukan
pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§ Tentukan
analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§ Pilih
rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§ Berikan
analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
|
3
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d ketidakmampuan untuk mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor
bilogis, proses penyakit.
|
NOC :
v Nutritional Status : food
and Fluid Intake
v Nutritional Status :
nutrient Intake
v Weight control
Kriteria Hasil :
v Adanya peningkatan berat
badan sesuai dengan tujuan
v Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
v Mampumengidentifikasi kebutuhan
nutrisi
v Tidak ada tanda tanda
malnutrisi
v Menunjukkan peningkatan
fungsi pengecapan dari menelan
v Tidak
terjadi penurunan berat badan yang berarti
|
NIC :
Nutrition Management
§ Kaji adanya alergi makanan
§ Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
§ Anjurkan
pasien untuk meningkatkan intake Fe
§ Anjurkan
pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
§ Berikan substansi gula
§ Yakinkan
diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
§ Berikan
makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
§ Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan harian.
§ Monitor
jumlah nutrisi dan kandungan kalori
§ Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
§ Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
§ BB pasien dalam batas
normal
§ Monitor adanya penurunan
berat badan
§ Monitor
tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
§ Monitor
interaksi anak atau orangtua selama makan
§ Monitor lingkungan selama
makan
§ Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
§ Monitor
kulit kering dan perubahan pigmentasi
§ Monitor turgor kulit
§ Monitor
kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
§ Monitor mual dan muntah
§ Monitor
kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
§ Monitor makanan kesukaan
§ Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
§ Monitor
pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
§ Monitor kalori dan intake
nuntrisi
§ Catat
jika lidah berwarna magenta, scarlet
|
A.
Kesimpulan
·
Leptospirosis
adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan yang
disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu
penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia.
·
Hewan yang paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir)
adalah hewan pengerat dan tikus
·
Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di
Indonesia terutama di musim penghujan.
·
Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak
langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang.
·
Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik
pada fase awal ataupun fase lanjut (fase imunitas).
·
Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk
menurunkan angka kematian.
·
Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia
lanjut, pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.
B. Saran
- Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah
berawa-rawa dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline.
- Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir
mungkin ada baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan.
- Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini
terutama di daerah-daerah yang sering mengalami banjir.
- Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat
segera menghubungi sarana kesehatan
DAFTAR
PUSTAKA
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2013/11/laporan-pendahuluan-leptospirosis.html#.VfVq6tKsVAE
Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Johnson, M., et
all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Judarwanto, W. 2009. Cermin Dunia
Kedokteran; Leptospirosis pada Manusia. Jakarta: Allergy Behaviour Clinic,
Picky Eaters Clinic Rumah Sakit Bunda
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita
Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., et all.
1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
NSW Multicultural Health Communication
Service. 2003. Leptospirosis. Dimuat dalam http://mhcs.health.nsw.gov.au (Diakses
20 Februari 2012)
Santosa, Budi. 2007. Panduan
Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
https://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
Keyword :
askep leptospirosis
askep leptospirosis pdf
askep leptospirosis 2009
askep leptospirosis adalah
asuhan keperawatan leptospirosis
asuhan keperawatan leptospirosis pdf
contoh askep leptospirosis
askep penyakit leptospirosis
askep pasien leptospirosis
makalah askep leptospirosis
pengertian dari leptospirosis
jurnal askep leptospirosis
askep kasus leptospirosis
askep lengkap leptospirosis
asuhan keperawatan penyakit leptospirosis
askep pada pasien leptospirosis
asuhan keperawatan pada leptospirosis
askep teori leptospirosis
askep leptospirosis
askep leptospirosis pdf
askep leptospirosis 2009
askep leptospirosis adalah
asuhan keperawatan leptospirosis
asuhan keperawatan leptospirosis pdf
contoh askep leptospirosis
askep penyakit leptospirosis
askep pasien leptospirosis
makalah askep leptospirosis
pengertian dari leptospirosis
jurnal askep leptospirosis
askep kasus leptospirosis
askep lengkap leptospirosis
asuhan keperawatan penyakit leptospirosis
askep pada pasien leptospirosis
asuhan keperawatan pada leptospirosis
askep teori leptospirosis